SUKIWANTUTKATAYASTA
Settingan di sebuah tempat yang hijau merumpun
Padi, Jagung, kelapa, dan beberapa tanaman lain yang menyemarakkan suasana
Angin sepoi-sepoi tak mengingatkan bahwa saat itu adalah siang hari…
Itulah hari-hari yang dilakoni sekawanan bocah-bocah sepulang dari sekolah..
Tempatnya tak dekat dengan rumah mereka, Perlu beberapa waktu untuk berjalan kaki, tapi sepanjang jalanan ada saja yang bisa menjadi ide dan inspirasi mereka, entah sekedar bercakap dan saling menimpali, bernyanyi atau memulai cerita yang bakal tercipta di hamparan hijau itu.
Dengan bekal air putih, biasanya seperti itu, atau mungkin sesekali membawa makanan bekal.
Sosok bocah paling kecil, “Ita cilik”, dia berperan sebagai ibu tiri, kegalakannya terkadang justru membuat cerita ini terkemas sungguh lucu. Ini tokoh utama dalam cerita-cerita yang biasa mereka mainkan. Dan selalu berganti cerita di tiap pergantian hari.
Mencari buah “Tek-Tek’an”, itu sudah wajib dilakukan ketika cerita sudah berakhir, dikumpulkan dalam sebuah kantong plastik hitam, atau seadanya, untuk kemudian dibawa pulang ke salah satu rumah mereka, bergantian pastinya, tetapi lebih sering ke rumah salah satu gadis kecil diantara mereka. Dan sepertinya anak jaman sekarang tak ada yang mengenal permainan buah ini. Mereka petik yang warnanya hitam, karena yang hijau itu berarti masih muda, dan belum bisa digunakan untuk mainan. Bentuknya kecil memanjang.
Buah mourbey, bentuknya seperti anggur berukuran mini, mungkin produk lokal untuk buah blueberry, blackberry, redberry, arbey, seprei, atau apalah yang pasti tak dikenal oleh sekawanan bocah di masa itu. Ya, buah mourbey, selalu jadi incaran untuk menjadi pelengkap ketika permainan buah “Tek-Tek’an dimulai”. Ketika muda, hijau keputih2an menjadi warnanya, kemudian memerah, lalu warnanya berubah jadi ungu, biru kehitam2an apabila sudah ranum, rasanya manis dan segar meskipun sungguh mini sekali ukurannya. Beberapa orang menyantapnya dengan ditaburi gula pasir ketika sudah berwarna merah.
Buah Katak, entah kenapa buah ini disebut buah katak, warnanya coklat, bentuknya tak pernah konstan (tak ada bentuk yang paten, menurutku seperti itu), tumbuh buahnya bergelantungan, bisa direbus, tapi sekawanan bocah itu lebih memilihnya untuk dibakar, di halaman rumah belakang gadis itu tentunya, selain rasanya lebih enak, proses membakarnya pun mengasyikkan.
Buah Ceplukan, bagaimana awalnya buah ini disebut buah ceplukan, sepertinya diantara mereka belum ada yang tahu. Buah ini bisa mereka dapatkan di panggung tempat mereka berteather dongeng bocah-bocah cilik, tepat sekali di hamparan hijau itu, ataupun di halaman belakang salah satu gadis diantara mereka. Warnanya hijau kecil, klo sudah matang dia akan lebih lunak terasa, rasanya manis asem dengan butiran biji-biji yang lembut terasa di lidah.
Sembari membakar buah Katak, dan menikmati segarnya buah mourbey juga ceplukan, mereka menyiapkan sebuah bak ataupun ember yang terisi beberapa liter air atau secukupnya, bergantian mereka mengambil buah “Tek-Tek’an”, lalu dilemparkan ke dalam bak besar yang berisi air, maka hanya menunggu sepersekian detik saja buah itu akan meletus mengeluarkan butiran biji-biji di dalamnya dan berbunyi “tek-tek-tek”. Tak jarang butiran2 biji itu mengenai bocah-bocah itu, atau sengaja salah satu diantara mereka didorong ke depan agar terkena, sungguh mengasyikkan, bergantian dilakukan mereka hingga isi buah “tek-tek’an itu habis. Terkadang mereka sengaja menaruh langsung separuh isi kantong plastik “Tek-tekan” tersebut, sehingga semburan bijinya cukup banyak dan bunyinya panjang terdengar bersautan “treeek-tek-tek-tek-tek-treeek-tek-tek-tek”.
Itulah mungkin alasan kenapa buah itu disebut “buah Tek-Tek’an”.
Ketika hari berganti siang atau setengah sore beberepa dari bocah itu dipanggil orang tuanya untuk tidur siang, sedangkan yang lain tetap bermain menghabiskan waktu seperti congklak, gobaksodor (Go back to door), petak umpet (hide and seek), betengan, sepak takraw, atau yang lainnya hingga sore tiba dan kembali pulang ke rumah masing-masing.
Senja hari-hari yang indah, beberapa dari mereka hanya duduk di teras rumah masing2 ketika selesei mandi sore sambil menunggu malam tiba untuk belajar, sedangkan yang lain bercanda2 dan mengerjakan PR, atau mungkin asyik menikmati layar telivisi.
Malam minggu, mereka berkumpul lagi dibawah sinar rembulan untuk bermain lompat tali, ular tangga, monopoli ato hanya melihat tayangan di layar televise bersama2.
“SUKIWANTUTKATAYASTA” sebenarnya nama ini lebih sering mereka pakai untuk cerita dengan settingan di hamparan hijau itu.
SUsi, KIki , waWAN, tuTUT, iKA, iTA besar, dYAS, dan iTA cilik. Kumpulan dari penggalan suku kata nama-nama kami.
xixi.., cerita di atas memang cerita masa kecilku bersama teman2, dan kakakku. Setiap hari Mbak Susi, Mas Kiki, Mas Wawan, Mbak Tutut, Mbak Ika Mira, Mbak Ita, aku dan ita cilik, menghabiskan waktu bermain bersama, meskipun beberapa teman kami yang lain bergabung tapi tetap saja kami masih suka menyebutnya sebagai “SUKIWANTUTKATAYASTA”.
Halaman rumah belakang yang sering mereka gunakan, adalah halaman rumah belakang kami, halaman belakang yang dulu penuh dengan berbagai tanaman rumah tangga, sayur mayor dan buah2an sebagai kebun tempat ayahku menghabiskan waktu selain waktu yang beliau gunakan untuk mengabdikan diri pada Negara. Buah katak, buah ceplukan, buah mourbey, atupun buah tek-tek’an dulu juga ada di halaman belakang rumah kami. Buah mourbey, aku lebih suka untuk sabar menunggunya hingga benar-benar ranum berwarna ungu kehitaman. Sedangkan sawah yang tiap hari kami gunakan untuk menikmati sejuknya siang adalah sawah milik orang di kampung sebelah, kalau tidak salah itu sawah milik Bu Nap, guru ngaji kami.
Padi, Jagung, kelapa, dan beberapa tanaman lain yang menyemarakkan suasana
Angin sepoi-sepoi tak mengingatkan bahwa saat itu adalah siang hari…
Itulah hari-hari yang dilakoni sekawanan bocah-bocah sepulang dari sekolah..
Tempatnya tak dekat dengan rumah mereka, Perlu beberapa waktu untuk berjalan kaki, tapi sepanjang jalanan ada saja yang bisa menjadi ide dan inspirasi mereka, entah sekedar bercakap dan saling menimpali, bernyanyi atau memulai cerita yang bakal tercipta di hamparan hijau itu.
Dengan bekal air putih, biasanya seperti itu, atau mungkin sesekali membawa makanan bekal.
Sosok bocah paling kecil, “Ita cilik”, dia berperan sebagai ibu tiri, kegalakannya terkadang justru membuat cerita ini terkemas sungguh lucu. Ini tokoh utama dalam cerita-cerita yang biasa mereka mainkan. Dan selalu berganti cerita di tiap pergantian hari.
Mencari buah “Tek-Tek’an”, itu sudah wajib dilakukan ketika cerita sudah berakhir, dikumpulkan dalam sebuah kantong plastik hitam, atau seadanya, untuk kemudian dibawa pulang ke salah satu rumah mereka, bergantian pastinya, tetapi lebih sering ke rumah salah satu gadis kecil diantara mereka. Dan sepertinya anak jaman sekarang tak ada yang mengenal permainan buah ini. Mereka petik yang warnanya hitam, karena yang hijau itu berarti masih muda, dan belum bisa digunakan untuk mainan. Bentuknya kecil memanjang.
Buah mourbey, bentuknya seperti anggur berukuran mini, mungkin produk lokal untuk buah blueberry, blackberry, redberry, arbey, seprei, atau apalah yang pasti tak dikenal oleh sekawanan bocah di masa itu. Ya, buah mourbey, selalu jadi incaran untuk menjadi pelengkap ketika permainan buah “Tek-Tek’an dimulai”. Ketika muda, hijau keputih2an menjadi warnanya, kemudian memerah, lalu warnanya berubah jadi ungu, biru kehitam2an apabila sudah ranum, rasanya manis dan segar meskipun sungguh mini sekali ukurannya. Beberapa orang menyantapnya dengan ditaburi gula pasir ketika sudah berwarna merah.
Buah Katak, entah kenapa buah ini disebut buah katak, warnanya coklat, bentuknya tak pernah konstan (tak ada bentuk yang paten, menurutku seperti itu), tumbuh buahnya bergelantungan, bisa direbus, tapi sekawanan bocah itu lebih memilihnya untuk dibakar, di halaman rumah belakang gadis itu tentunya, selain rasanya lebih enak, proses membakarnya pun mengasyikkan.
Buah Ceplukan, bagaimana awalnya buah ini disebut buah ceplukan, sepertinya diantara mereka belum ada yang tahu. Buah ini bisa mereka dapatkan di panggung tempat mereka berteather dongeng bocah-bocah cilik, tepat sekali di hamparan hijau itu, ataupun di halaman belakang salah satu gadis diantara mereka. Warnanya hijau kecil, klo sudah matang dia akan lebih lunak terasa, rasanya manis asem dengan butiran biji-biji yang lembut terasa di lidah.
Sembari membakar buah Katak, dan menikmati segarnya buah mourbey juga ceplukan, mereka menyiapkan sebuah bak ataupun ember yang terisi beberapa liter air atau secukupnya, bergantian mereka mengambil buah “Tek-Tek’an”, lalu dilemparkan ke dalam bak besar yang berisi air, maka hanya menunggu sepersekian detik saja buah itu akan meletus mengeluarkan butiran biji-biji di dalamnya dan berbunyi “tek-tek-tek”. Tak jarang butiran2 biji itu mengenai bocah-bocah itu, atau sengaja salah satu diantara mereka didorong ke depan agar terkena, sungguh mengasyikkan, bergantian dilakukan mereka hingga isi buah “tek-tek’an itu habis. Terkadang mereka sengaja menaruh langsung separuh isi kantong plastik “Tek-tekan” tersebut, sehingga semburan bijinya cukup banyak dan bunyinya panjang terdengar bersautan “treeek-tek-tek-tek-tek-treeek-tek-tek-tek”.
Itulah mungkin alasan kenapa buah itu disebut “buah Tek-Tek’an”.
Ketika hari berganti siang atau setengah sore beberepa dari bocah itu dipanggil orang tuanya untuk tidur siang, sedangkan yang lain tetap bermain menghabiskan waktu seperti congklak, gobaksodor (Go back to door), petak umpet (hide and seek), betengan, sepak takraw, atau yang lainnya hingga sore tiba dan kembali pulang ke rumah masing-masing.
Senja hari-hari yang indah, beberapa dari mereka hanya duduk di teras rumah masing2 ketika selesei mandi sore sambil menunggu malam tiba untuk belajar, sedangkan yang lain bercanda2 dan mengerjakan PR, atau mungkin asyik menikmati layar telivisi.
Malam minggu, mereka berkumpul lagi dibawah sinar rembulan untuk bermain lompat tali, ular tangga, monopoli ato hanya melihat tayangan di layar televise bersama2.
“SUKIWANTUTKATAYASTA” sebenarnya nama ini lebih sering mereka pakai untuk cerita dengan settingan di hamparan hijau itu.
SUsi, KIki , waWAN, tuTUT, iKA, iTA besar, dYAS, dan iTA cilik. Kumpulan dari penggalan suku kata nama-nama kami.
xixi.., cerita di atas memang cerita masa kecilku bersama teman2, dan kakakku. Setiap hari Mbak Susi, Mas Kiki, Mas Wawan, Mbak Tutut, Mbak Ika Mira, Mbak Ita, aku dan ita cilik, menghabiskan waktu bermain bersama, meskipun beberapa teman kami yang lain bergabung tapi tetap saja kami masih suka menyebutnya sebagai “SUKIWANTUTKATAYASTA”.
Halaman rumah belakang yang sering mereka gunakan, adalah halaman rumah belakang kami, halaman belakang yang dulu penuh dengan berbagai tanaman rumah tangga, sayur mayor dan buah2an sebagai kebun tempat ayahku menghabiskan waktu selain waktu yang beliau gunakan untuk mengabdikan diri pada Negara. Buah katak, buah ceplukan, buah mourbey, atupun buah tek-tek’an dulu juga ada di halaman belakang rumah kami. Buah mourbey, aku lebih suka untuk sabar menunggunya hingga benar-benar ranum berwarna ungu kehitaman. Sedangkan sawah yang tiap hari kami gunakan untuk menikmati sejuknya siang adalah sawah milik orang di kampung sebelah, kalau tidak salah itu sawah milik Bu Nap, guru ngaji kami.
Komentar
Posting Komentar